Tentang Keuskupan Atambua Menjawab


Pihak Keuskupan Atambua akhirnya bersuara terkait "kasus Bitauni" yang melibatkan F - sastrawan dan pastor A. Suara keuskupan ini memang dinanti oleh publik terlebih karena pastor A yang menurut F bermasalah itu ditempatkan di SMK Bitauni berdasarkan keputusan keuskupan. Sikap resmi keuskupan Atambua yang tidak secepat berita tentang sang sastrawan F dalam berbagai pemberitaan media nasional pun lokal, memang tetap dinanti. Mengapa? Karena keuskupan mesti menjawab tuduhan bahwa pihak keuskupan membiarkan pastor bermasalah atau tidak bertindak 'memindahkan' pastor bermasalah pada tempat yang tepat. 

Hemat saya ketidaktergesaan pihak keuskupan memberikan jawaban adalah suatu proses yang mesti dihargai. Mereka tidak cepat-cepat memberi klarifikasi hanya sekadar untuk menjawab hasrat publik/netizen, mereka juga tidak ke sana ke mari mencari pembenaran. Saya yakin, dalam waktu selepas peristiwa ini meledak, pihak keuskupan bukan kesulitan memberikan jawaban tetapi mereka menunggu saat yang tepat untuk menjawab. Ada 3 poin penting dari suara pihak keuskupan ini:

1. Bahwa imam yang bermasalah (dengan perempuan) telah melakukan penyelesaian secara hukum adat dan sesuai delik KHK 1983, kanon 1359 imam yang bermasalah ini dijatuhi suspensi pastoral. Apa itu suspensi pastoral? Ini adalah sejenis hukuman yang menghilangkan fungsi imamat seorang imam. Dengan kata lain melalui suspensi ini fungsi imamat seorang imam tidak efektif atau tidak berdaya guna lagi.

2. Imam yang sedang menjalani suspensi pastoral ini ditempatkan untuk sementara di SMK St. Pius XI Bitauni dalam rangka pengolahan diri sambil menanti kesempatan kursus penyegaran rohani untuk pengambilan sikap selanjutnya. 

3. Keuskupan membuka penyelesaian secara kekeluargaan atas hukum pidana yang diterima Felix Nesi dangan prinsip keterbukaan hati untuk mengungkap kebenaran demi mencapai keadilan dan perdamaian.

Berdasarkan ketiga poin di atas, saya menyampaikan pandangan pribadi saya berikut ini:

1. Suara keuskupan Atambua tidak dalam rangka menjawab hasrat semua orang/netizen. Jika ada yang merasa tidak puas, tidak terima, biarkan itu terus mengalir dalam raga. Karena jawaban pihak keuskupan tidak menyesuaikan dengan selera dan citarasa hasrat publik atau orang per orang. Keuskupan menjawab berdasarkan apa yang telah mereka lakukan sebagai bagian dari proses merespons persoalan imam yang bermasalah itu. 

2. Keuskupan bukan tidak melakukan sesuatu terhadap imam yang bermasalah. Berbagai pendekatan dilakukan mulai dari pengurusan secara adat, memberikan sanksi suspensi pastoral hingga perencanaan penyegaran rohani dan sejenisnya. Jadi keberadaan sang imam bermasalah di SMK Bitauni itu hanya sementara atau transit sebelum memulai suatu program baru di tempat yang lain. Saran saya, sebaiknya keuskupan memiliki healing center atau rumah penyembuhan khusus untuk para imam yg bermasalah. Di tempat itu mereka dibimbing dengan berbagai program penyegaran, refleksi dan disermen hingga akhirnya memutuskan mau maju terus dengan semangat pertobatan total atau mau berhenti sampai di situ dan bergabung dengan kawanan domba lainnya.

3. Para imam adalah mereka yg dipilih Tuhan dari antara umat-Nya. Martabat imamat ini sangat dijunjung tinggi. Karena itu, soal selibat, ketaatan dan kaul-kaul lainnya adalah hal prinsipil. Melanggar hal-hal prinsip ini pasti akan mendapat reaksi keras dari umat atau publik. Kita sangat menghargai kaum imam yang terus menjaga kesucian dan kesederhanaan dalam melayani umat Tuhan. Tetapi untuk imam yang sudah merasa jalan panggilan itu berat dan mesti memutuskan untuk berhenti, apresiasi yang sama juga diberikan. Jika jadi gembala, jadilah gembala yang seutuhnya. Bila jadi domba, jadilah domba yang total. Tidak bisa serentak menjadi gembala dan domba sekaligus.

4. Tugas umat sebagai domba-domba adalah terus menjaga, memperhatikan, mendukung dan mendoakan agar para imam kita tetap setia di jalan panggilan Tuhan. Batasan-batasannya kita tahu. Mereka imam tetapi dari tanah liat kita sama-sama dibentuk. Mudah rapuh dan pecah. Jangan menciptakan sikon yang akhirnya membuat mereka jatuh ke dalam pencobaan-pencobaan kita. Kita memang tidak bisa mengelak efek teknologi digital saat ini. Mudah-mudahan para gembala kita juga melek teknologi agar tidak jatuh ke dalam pencobaan karena terseret arus teknologi.

5. Rujukan penyelesaian masalah bagi imam yang bermasalah adalah hukum kanonik. Dalam kasus imam A, pendekatan kekeluargaan (adat) sudah dilakukan. Pendekatan hukum gereja sudah diambil. Pendekatan hukum positif bisa saja jika ada yang merasa harus menempuh jalan itu. Karena suspensi pastoral itu rujukannya kanon, maka kita yang jauh jangkauan dari kanon itu tak usah bermain-main dalam keruhnya pemahaman kita dengan modal hukum konon. Konon sana konon sini akibatnya lahirlah katakonik eror. Seperti orang menilai permainan badminton pakai aturan pingpong. Rujukan konon itu asal omong dan omong asal-asal. Ini bukan menyejukkan malah memperkeruh suasana. Jika tidak paham, bijaknya kita diam.

6. Sikap kritis seorang Felix kita apresiasi. Perjuangan mencari dan menemukan kebenaran mesti diapresiasi. Menjadi domba juga perlu kritis terhadap pola hidup, pergaulan dan pelayanan kaum gembala (kaum tertahbis). Namun, mencari kebenaran dengan kekerasan tidak dibenarkan. Kebenaran mesti dicari dengan cara-cara yang benar. Kesalahan tidak mengantar orang pada penemuan kebenaran karena posesnya salah. Salah ya salah. Benar ya benar. Tidak bisa pakai jalan salah untuk temukan kebenaran. Niat yang baik dan benar harus didukung oleh tindakan yang baik dan benar. Dalam konteks ini, Felix perlu berjalan pulang ke jalan yang benar.

7. Domba dalam sastra biblis dilukiskan dia yang tidak mengembik ketika bulunya dicukur dan ketika dibawa ke tempat pembantaian. Namun domba juga bisa arogan. Memecahkan kaca dan mematahkan kursi adalah bentuk arogansi seekor domba. Sastra itu kaya kata-kata. Maka sastrawan mesti berada di level menguasai logos (kata, sabda) agar bisa berdialogos. Tetapi ketika kata mati gaya dan helm bertindak maka itu bukan di panggung teater yang artifisial. Ini di suatu lokus yang mestinya juga dijaga fasilitasnya. Bukan soal hanya kaca-kaca yang berjatuhan tetapi itu soal tanggung jawab dan motivasi yang harus dipertanyakan. Sang Guru, 2000 tahun silam memarahi para pedagang yang berjualan di bait Allah dan membalikkan meja jualan mereka. Intensi sang guru jelas. Rumah Tuhan adalah rumah doa, jangan dijadikan sarang penyamun. Perilaku Sang Guru tidak bisa disamakan dengan tindakan Felix. Persoalannya, intensi dan motivasi berbeda. Artinya, untuk intensi yang belum jelas kebenarannya jangan jadikan itu sebagai kebenaran bertindak. Intentio itu terangkum dari pengalaman masa lalu: pengalaman fisik maupun psikis hingga pengalaman saat ini. Intinya, carilah kebenaran dan bukan pembenaran. 

8. Ketika jawaban keuskupan hadir, maka pemahaman kita sudah cover both side. Tidak hanya mendengar penuturan Felix yang melanglangbuana hingga koran nasional dan memicu komentar Romo Magnis Suseno tetapi juga mendengarkan suara keuskupan sebagai suara gembala. Dari dua perspektif ini saya pikir jelas bagi kita mana sisi-sisi kebenaran yang harus terus diperjuangkan, mana sisi-sisi kesalahan yang mesti dikubur dalam-dalam dan mana sisa-sisa niat pertobatan yang harus dikumpul lagi jadi satu niat besar untuk bertobat secara radikal. Gembala bisa salah. Bisa jatuh. Demikian pun domba bisa keliru. Bisa terjatuh. Maka mengakui kesalahan, menerima risiko akibat kesalahan, bertanggung jawab atas kesalahan adalah buah-buah pertobatan itu. Mea culpa, mea maxima culpa tidak boleh seindah hanya di bibir. Implementasi pertobatan itu harus menghasilkan buah-buah pertobatan.

9. Gembala dan domba, domba dan gembala. Kita ini satu komunitas kawanan. Kita adalah gereja. Kalau kita gereja mengapa kita harus ribut? Mengapa kita harus berseteru? Demi sebuah kebenaran? Oke. Kebenaran menurut siapa? Kalau rujukannya kebenaran versi Sang Guru, maka mulailah dengan jalan pertobatan agar kita bisa menggapainya. Karena kita semua ini satu gereja yang kudus, umum dan apostolik, maka ruang kekeluargaan terbuka untuk kita selesaikan dalam spirit kawanan. Pihak keuskupan membuka penyelesaian secara kekeluargaan. Semoga direspon oleh Felix. Proses hukum positif tetap berjalan. Namun kekuatan kekeluargaan akan bisa memberikan pertimbangan hukum tersendiri terhadap proses hukum positid itu. Mudah-mudahan ini terjadi agar kita bisa cooling down dan membangun lagi kebersamaan gembala dan domba secara benar.

10. Ini pendapat pribadi saya. Jika ada yang tidak berkenan, jangan dilampiaskan ke pihak keuskupan atau Felix. Lemparkan saja ke saya biar tercipta dialog. Sarinya kita ambil, sampahnya kita bakar. Hidup ini bukan panggung sandiwara. Juga bukan teater. Janganlah bersandiwara dan berteater tentang kebenaran. Selamat berjuang entah sebagai gembala, entah sebagai domba agar kita tidak menjadi mangsa serigala-serigala yang berkeliaran di luar kandang.

Kupang, 11 Juli 2020

Isidorus Lilijawa
(Pernah belajar menjadi gembala tetapi akhirnya berpraktik sebagai domba)

Iklan

Iklan