Soe, Delikntt.com- Bupati TTS, Egusem Pieter Tahun yang dikonfirmasi tim media baru menjawab melalui WA pada Minggu (09/05) pukul 00.38 Wita.
Bupati TTS itu menjawab dengan tegas bahwa tidak ada penutupan jalan di wilayah Kabupaten TTS. “Saya tegaskan TIDAK ADA PENUTUPAN JALAN di seluruh wilayah TTS,” tulisnya.
Menurut Bupati Epy Tahun, seorang Kepala Daerah (Bupati, red) itu dipilih oleh rakyat, jadi harus memihak kepada rakyat. “Bupati dipilih oleh rakyat jadi memihak pada Rakyatnya. Yang tidak sayang Rakyat TTS yang tidak dukung operasi ini & mengharapkan agar Rakyat mati konyol dengan Virus ini,” tulisnya lebih lanjut.
Lebih lanjut, Bupati TTS tersebut berpesan kepada seluruh masyarakat Kabupaten TTS, agar kedepan tidak memilih orang-orang (politisi, red) yang hanya mementingkan dirinya sendiri. “Saya berharap kepada Rakyat TTS agar diwaktu2 yang akan datang jangan memilih orang2 yang hanya mementingkan isi perutnya,” tandas Epy Tahun.
Pernyataan Bupati TTS ini menanggapi berita berbagai media on line sebelumnya, yang menyajikan reaksi anggota DPRD TTS dan aktivis anti korupsi soal kebijakan penutupan jalan trans-Nasional; pintu masuk Kecamatan Batu Putih Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) oleh Pemda TTS.
Anggota DPRD TTS menilai Pemda TTS (Bupati TTS, Egusem Pieter Tahun, red) menerjemahkan dan atau memahami intruksi larangan mudik dari Presiden Jokowi seperti “ular telan ‘besi gali’ (linggis, red).” Pemda TTS memahami instruksi tersebut secara lurus. Kebijakan Bupati Epi Tahun itu dinilai melampaui kewenangan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL).
Demikian tanggapan Anggota DPRD TTS, Marthen Tualaka saat diwawancarai tim media ini pada Sabtu (08/05/2021) terkait penutupan Jalan Trans Nasional pintu masuk Batu Putih Kabupaten TTS oleh Bupati TTS, Epy Tahun.
“Khusus untuk TTS, edaran itu tidak pantas untuk diberlakukan kebijakan seratus persen. Kita (Pemda TTS dan Bupati TTS, red) terjemahan aturan seperti ular telan (menelan) besi gali, jadi terjemahan lurus, lagian di TTS ini daerah trans Nasional. Jadi Pemerintah TTS harus koordinasi dengan 3 Daerah seperti TTU, Belu dan Malaka,” ujar Marthen Tualaka.
Menurut Ketua Komisi IV DPRD TTS itu, instruksi Presiden itu berlaku secara nasional. Namun perlu dilihat dulu momentumnya. “Itu (instruksi larangan mudik, red) pada saudara-saudari yang beragama Muslim, dan lebih khusus lagi daerah-daerah mayoritas Muslim. Sedangkan NTT dan TTS ini mudik ke mana? Pelaku perjalanan normal saja sebagaimana mestinya. Kenapa harus tutup arus lalulintas dengan aturan yang tak pernah disosialisasikan kepada masyarakat,” jelas Marten.
Marthen Tualaka menambahkan, sesuai aspirasi yang didapatkan dari masyarakat, dampak pandemi Covid-19 sangat dirasakan sopir-sopir, karena penumpang sepi. Para sopir mengeluh anak isteri susah mendapat makan, tetapi malah dibuat tambah susah dengan kebijakan tersebut.
“Anak-anak para sopir tidak tidur karena lapar. Sedangkan anak para pejabat tidur sonu (nyenyak, red) karena kenyang dengan informasi THR (tunjangan hari raya). Inilah aspirasi yang diterima oleh DPRD TTS dari perkumpulan sopir," tandas Tualaka.
Sikap DPRD TTS, lanjut Marthen Tualaka, dalam waktu dekat akan memanggil Pemda TTS untuk meninjau kembali kebijakan penutupan jalan Trans-Nasional (pintu masuk Batu Putih, red), karena dinilai merugikan masyarakat umum. “DPRD TTS menyesal dengan tindakan PEMDA TTS, karena tidak melakukan sosialisasi terlebih dahulu terkait penutupantersebut,” ungkap Tualaka.
Menurutnya, tindakan Bupati TTS Menutup trans Nasional itu sudah merupakan tindakan over (melampaui, red) kewenangan Gubernur NTT. Kebijakan penutupan Jalan trans-Nasional penghubung Kabupaten TTS dengan daerah kabupaten lainnya merupakan wewenang Ggubernur bukan wewenang Bupati. “Bupati tidak memiliki legal standing untuk mengambil kebijakan tersebut. Bupati TTS itu urus saja trans antar kecamatan, bukan antar Kabupaten. Masa’ Pemda TTS urus masyarakat Kabupaten TTU, Belu, Malaka,” tegas Tualaka dalam nada kritik.
Sementara itu Alfred Baun, Ketua Aliansi Rakyat Anti Korupsi Indonesia (ARAKSI), meminta Bupati TTS untuk memahami dengan baik tentang instruksi Presiden, tentang larangan mudik.
"Pemerintah TTS itu harus memahami benar instruksi itu secara situasional berdasarkan kunci daerah, karena instruksi yang dimaksudkan Presiden itu terhadap daerah-daerah mayoritas Muslim yang berhubungan dengan hari raya. Sedangkan di NTT ini mayoritas Kristen," kata Alfred.
Ketua ARAKSI juga menilai, Bupati TTS menutup Pintu Batu Putih, berarti dia menciptakan lokasi kerumunan baru, yang tadi bermaksud untuk memutuskan mata rantai virus corona, justru menambah klaster baru karena kerumunan massa yang sementara terjadi itu.
Keputusan Bupati TTS itu tak ada untungnya bagi masyarakat, ini karena tidak kaji suatu aturan secara komprehensif.
"Jadi asal taro-taro akhirnya menimbulkan berapa macam efek dari keputusan itu, antara lain, pertama, menimbulkan kerumunan baru di Wilayah Pintu Masuk Batu Putih. Mengempang aktivitas dari pada masyarakat pengguna jalan di empat Kabupaten.
Kedua, menghambat aktivitas perekonomian masyarakat yang lagi diperhadapkan dengan kondisi ekonomi yang sulit di era covid-19 ini,"kritik Alfred.
Lanjutnya pula, "jadi Bapak Bupati jangan memahami aturan setengah-setengah untuk menimbulkan masalah baru di daerah ini. Memutuskan arus transportasi Nasional bukan kewenangan Bupati, tetapi itu kewenangan Gubernur, jadi Bupati TTS sepihak membuat keputusan untuk mengambil alih tugas Gubernur."
Alfred juga menilai Bupati TTS sedang menciptakan massa yang amburadul. Karenanya, ia meminta DPRD TTS untuk memanggil Bupati TTS guna menjelaskan hal ini dengan baik, supaya Bupati bersama DPRD diskusikan agar jangan menimbulkan masalah baru di daerah ini. Karena Keputusan Bupati meresahkan warga masyarakat di Empat Kabupaten.(mt/tim).