Kegelisahan Electoral Caleg Pengurus Partai (Catatan Menjelang Putusan MK)

Germanus Attawuwur S.

Germanus Attawuwur seorang aktivis pemerhati berbagai masalah sosial termasuk demokrasi dan perpolitikan dengan segala kebijakan dan dampak yang sudah, sedang dan akan terjadi. Dengan catatan opini yang ada ia mengajak para pencinta demokrasi dan politik untuk lebih memaknai lebih jauh fenomena yang berkembang dalam kekinian. Berikut ulasan berliau

Kegelisahan Elektoral

Minimnya popularitas para calon DPR/DPRD dari partai politik berdampak pada menurunnya elektabilitas caleg. Menurunnya electoral calon DPR/DPRD dari pengurus partai politik menimbulkan kegelisahan electoral. Kegelisahan electoral karena takut tidak terpilih (lagi) pada pemilu 2024 menimbulkan kegamangan demokrasi. Kegamangan demokrasi melahirkan sikap inkonstititusional terhadap Pasal 168 ayat (2) UUD 1945. Pada akhirnya tampillah beberapa oknum untuk menguji kembali secara hukum/Judical Review Pasal 168 ayat (2) yang mengatakan bahwa:” Pemilu untuk memilih anggota DPR/DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan system proporsional terbuka.”Argumen hukum para pemohon adalah Pasal 168 bertentangan dengan Pasal 22 E ayat (3) yang berbunyi:” Peserta Pemilihan Umum untuk memilih Anggota DPR/DPRD adalah partai politik.

Langkah melakukan Judical Review hemat penulis adalah rasionalisasi sistemik demokrasi,  untuk menjustifikasi sikap inkonstitusional para pemohon dengan menghadirkan Fritz Edward Siregar,  Pengajar Hukum Tata Negara pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STH Indonesia Jentera). Beliau mengatakan:”  Perubahan dalam sebuah Demokrasi Konstitusional adalah bagian dari suatu proses yang sangat penting untuk memastikan perlindungan, dan pemajuan prinsip-prinsip demokrasi yang berkelanjutan. Ketika perubahan dibuat untuk mendukung proses demokrasi, maka perubahan tersebut berkontribusi pada ketahanan sistem demokrasi itu sendiri.

“Selama perubahan ini dilakukan melalui proses yang transparan, inklusif, dan partisipatif yang menghormati norma-norma konstitusional dan nilai-nilai demokrasi, maka perubahan tersebut diperlukan untuk kelangsungan fungsi dan pertumbuhan demokrasi konstitusional kita. Dan perubahan yang dimaksud siregar adalah perubahan dari sistem proporsional terbuka kepada sistem proporsional tertutup.”

Penulis hendak memberikan catatan kritis terhadap pendapat Fritz Edward Siregar. Pertama, apakah Siregar sadar bahwa salah prinsip demokrasi adalah terjaminnya Hak Asasi Manusia? Hak asasi model manakah yang dilindungi dan dimajukan oleh Negara bila system proporsional tertutup itu diberlakukan? Bukankah sebaliknya system proporsional tertutup adalah kemunduran dan pematian demokrasi? Pendapatnya kontra produktif  karena system pemilu proporsional tertutup tidak berkontribusi pada ketahanan sistem demokrasi tetapi berkontribusi pada penghancuran prinsip-prinsip demokrasi. Maka argumentasi hukum Fritz Edward Siregar patut dikesampingkan karena bertentangan dengan demokrasi substansial. 

Di saat rakyat dan calon legislative menunggu dengan harap-harap cemas putusan MK, justru muncul berita yang menghebohkan negeri ini. Denny Indrayana mengklaim mendapatkan informasi mengenai putusan MK perihal sistem pemilu legislatif yang akan kembali ke sistem proporsional tertutup atau coblos partai. Putusan itu diklaim Denny diwarnai perbedaan pendapat atau dissenting opinion: 6: 3 di MK.

Terhadap klaim Denny itu, - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta polisi dan Mahkamah Kontitusi (MK) mengusut dugaan kebocoran informasi soal putusan MK terkait sistem pemilihan legislatif (pileg). Sebab, menurut dia, putusan MK yang belum dibacakan masih berstatus rahasia negara. "Terlepas dari apa pun, putusan MK tak boleh dibocorkan sebelum dibacakan. Info dari Denny ini jadi preseden buruk, bisa dikategorikan pembocoran rahasia negara. Polisi harus selidiki info A1 yang katanya menjadi sumber Denny agar tak jadi spekulasi yang mengandung fitnah," kata Mahfud lewat akun Twitter resminya @mohmahfudmd yang dipantau Antara di Jakarta, Minggu (28/5/2023). (KOMPAS.com) 

Pernyataan beliau dibalas oleh Benny Kabur Harman melalui cuitan sinismenya:” Mahfud ini benar-benar sudah menjadi corong rezim otoriter, Mestinya harus berterima kasih kepada Pak Denny bukan malah menginstruksikan Polri untuk kriminalisasi yang bersangkutan. Quo vadis pak Mahfud, quo vadis domine?" 

Memilih Untuk Tidak Memilih 

Bila MK memutuskan untuk kembali kepada system proporsional tertutup, maka negara telah merampas hak asasi dan kedaulatan rakyat sebagai prinsip demokrasi. Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan perwakilan Rakyat Daerah, sebagai sarana perwujudan kedaulatan rayat  untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hanyalah sebuah dictum mati  pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dikatakan sebagai dictum mati, karena telah dimatikan oleh system proporsional tertutup. Dimatikannya secara sistemik demokrasi dalam system proporsional tertutup dapat menimbulkan kemarahan rakyat. Kemarahan rakyat dapat saja diluapkan melalui memilih untuk tidak memilih. Karena memilih untuk tidak memilih adalah juga hak. 

Memilih untuk tidak memilih, sudah pernah disuarakan oleh seluruh uskup Indonesia melalui Surat Gembala menjelang Pemilihan Umum pada bulan Mei 1997. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengeluarkan Surat Gembala Prapaskah yang isinya antara lain: ''Kalau Anda merasa tidak terwakili dan yakin dengan suara hati yang jernih dan kuat bahwa kedaulatan Anda tidak tersalurkan, kami dapat mengerti bahwa Anda mengungkapkan tanggung jawab dan kebebasan Anda dengan tidak memilih, dan Anda tidak berdosa apabila tidak memberikan suara''

Apakah dikeluarkan surat Gembala Konferensi Wali Gereja Indonesia  (KWI) Gereja ikut berpolitik. Ya, Gereja Katolik Indonesia sedang berpolitik! Tetapi Gereja hierarki tidak ingin merebut kekuasaan dengan berpolitik praktis dalam arti sempit. Karena Gereja hierarki Katolik Indonesia sadar,  bahwa berpolitik praktis itu haram hukum agamanya. Karena itu hierarki gereja justru memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para awam katolik untuk terjun ke medan politik praksis sebagai panggilannya dalam merasul awam. Asalkan, tujuan politiknya adalah demi kebaikan umum, tidak boleh untuk kepentingan pribadi, kelompok dan kroni-kroninya.

Maka yang dilakukan KWI waktu itu adalah memberikan Pendidikan Moral Politik. Sebagai penjaga moral, KWI patut memberikan edukasi moral politik kepada anak negeri ini, teristimewa kepada para awam katolik yang memiliki hak pilih agar mendengarkan suara hatinya. Sebelum memutuskan memilih atau tidak memilih, setiap awam katolik patut mendengarkan suara hatinya. Karena suara hati adalah suara Tuhan. Sekalipun demikian, suara hati dapat keliru karena keterbatasan manusia. Maka mendengarkan suara hati secara sungguh—sungguh dalam keheningan yang sakral adalah sebuah keharusan agar dalam konteks memilih atau tidak memilih partai tertentu  dalam pemilu dengan system proporsional tertutup, di kemudian hari dapat dipertanggungjawabkan secara moral. *()    


Iklan

Iklan