PARA MURID TELAH MULAI “DUBIUM METHODICUM”  

(Sebuah Catatan Reflektif)


By Suswati D. Aldrin


Opini: ADA satu metode yang namanya “Dubium Methodicum” (metode meragukan atau menyangsikan). Metode ini dari Fisluf Rene Descartes (1596-1650), yang mengajarkan untuk meragukan, membimbangkan dan menyangsikan  segala sesuatu, sehingga segala sesuatu tidak dapat diragukan lagi dan memposisikan kebenaran secara tepat. 


Jadi ajaran ini memberi tempat kepada intelek untuk menolak secara absolut segala sesuatu yang salah dan sesat, dan yang ada hanya “benar” saja. Yang benar atau Kebenaran adalah persesuaian antara res (realita) dan intelektus (pikiran).


Walau demikian hebatnya, atau benarnya “Dubium Methodicum” itu, tetapi metode ini pada posisi tertentu tidak diterima seluruhnya untuk kebenaran iman. Karena kebenaran iman hanya diterima dengan akal budi begitu saja. Alasanya hanya satu, yakni: “Iman yang menolong akal budi” untuk memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan kebenaran (Verum).  


Jadi Dubium Methodicum atau Kesangsian Metodis pada ranah iman, atau pada konteks tertentu hanyalah jembatan yang menghubungkan perjalanan menuju “Kebenaran” (Verum) iman akan Allah yang benar, “Deum Verum de Deo Vero” (Allah benar dari Allah benar).


Manakala Dubium Methodicum dipadankan dengan Peristiwa di Danau Tiberias, “Kisah Yesus meredahkan angin ribut” (Bdk. Mrk 4:35-40) dan refleski atas kejadian ajaib yang dialami para murid ketika Yesus meredahkan angin ribut itu, sangat mungkin Dubium Methodicum dipakai para murid untuk menyangsingkan kehadiran Yesus, sebagai “Deum Verum de Deo  Vero”


Bayangkan berlayar di Danau Galilea ( Atau kalau kita sedang di Genezaret disebut Danau Genezaret  atau di Tiberias, disebut Danau Tiberias, dan seterusnya). Orang-orang di Tiberias menyebutnya dengan Laut Tiberias, itu berarti luas sekali dengan kedalaman airnya mencapai 53 meter, dan kadang pada waktu atau musim tertentu menghadirkan angin taufan dan mengakibatkan gelombang besar yang dapat menenggelamkan perahu, dan merusak segala apa yang ada dipermukaan air danau itu.


Yesus dan ke-12-san serta perahu-perahu lain yang menyertai pelayaran di suatu kisah mengalami kejadian itu, angin ribut. Ketika taufan dasyat menyerang perahu yang ditumpangi Yesus dan ke-12-san, Yesus tertidur di buritan perahu, di sebuah tilam. Taufan dasyat itu mengakibatkan semburan ombak masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air, dan siap mengahantar seluruh penumpang dan awak perahu kepada kebinasaan. 


Ide “Dubium Methodicum” (Kesangsian Metodis) yang diperkenalkan kemudian oleh Descartes (Bisa dikatakan demikian, lantaran ia pernah menyepih dua tahun untuk bersemadi, dan meneguhkan iman dan budinya), telah dipraktekan para murid untuk meneguhkan keyakinan iman mereka akan Yesus dan kehadiranNya, sebagai Sang Deum Verum de Deo Vero itu.  


Praksis dari “Dubium Methodicum” mereka berwujud pada beberapa hal, pertama,  “kepanikan yang luar biasa,” kala kejadian itu. Hal ini terjadi oleh karena (Alkitab mengatakan kasusnya) angin taufan yang dasyat, semburan ombak, air masuk ke perahu, perahunya mulai penuh dengan air (ya, siap tenggelam), kata lainnya kematian diambang pintu. 


Pertanyaanya, “Kenapa terjadi kepanikan yang luar biasa?”  Alkitab menyebut sesuatu yang penting dan jadi dalil pertama, yakni  dari Sabda Yesus sendiri, “Mengapa kamu begitu takut? Apakah mereka semua (para murid) manusia traumatis atau pobia air. 


Hal kedua, pertanyaan ini, “Mengapa kamu tidak percaya?” Bukti dukung sampai pernyataan “Mengapa kamu tidak percaya” harus dilontarkan Yesus karena kelihatan sekali para murid takut binasa (mati), mereka kewalahan, mereka takut terjadi kengerian bagi diri mereka. Pernyataan Yesus itu didukung kuat oleh pernyataan para murid sendiri: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?”


Pertanyaan lanjutan, “Kenapa orang-orang hebat seperti para murid yang nota bene para pelaut kawakan, profesional mengalami ketakutan yang hebat ketika menghadapi tofan yang dasyat (mungkin pernah alami) dan perahu yang ditumpangi itu hampir tenggelam. Tidakah mereka punya cara, atau akal?  


Apakah karena afirmasi negatiplah yang membuat mereka mengalami “situasi goncang” yang dasyat karena serangan badai.  Afirmasi itu seperti; kami binasa, kami tidak tertolong, kami hancur, dan lain-lain lagi. Afirmasi negatif lain yang paling khas adalah ucapan mereka sendiri kepada Yesus, “Engkau tidak pedulikah kalau kita binasa?” Jadi pada level intelektus (budi) mereka hanya ada realitas pesimistis, tidak tertolong lagi, tenggelam, binasa dan mati. 


Atas “situasi goncang” dan “realitas peisimistis” demikian “Dubium Methodicum” akan kehadiran Yesus, terjadilah. Kesimpulan kecil adalah jika intelektus, budi, pikiran, dipenuhi hal-hal negatif, tertumpuk realitas pesimistis maka situasi down, susah menghadapi realitas, kehilangan kendali diri memenuhi tataran intelektus. 


Bahkan berpengaruh sampai pada tataran psikis, dan menyebabkan seseorang kehilangan kendali untuk menampik rasa takut, keberanian luntur dan berpikir jernih lenyap. Untuk mengatasi situasi-situasi ini Yesus Sang Deum Verum hanya bilang, “Percaya atau  belajar Percaya.” Katakan pada masalah bahwa Yesus lebih besar dari masalah yang sedang dihadapi. Tapi ini tidak ada pada realitas dan intelektus para murid yang sedang bersama Yesus pada peristiwa itu. 


Mereka mengalami lost personality dan atau kehilangan personalitas, tidak focus kepada Tuhan akibatnya kesulitan untuk mengumpulkan keberanian menghadapi persoalan, juga keyakinan, percaya untuk bertahan, dan cuma fokus pada masalah.  Kata mereka, “Masalah kami lebih besar dari Yesus.”


Bukti jelas Yesus lebih besar (lebih hebat) dari masalah yang dihadapi, ketika Yesus, Sang Deum Verum memerintahkan angin taufan itu “diam ! redah!” dan  seketika itu juga angin taufan redah atau diam. Atas peristiwa yang luar biasa dan ajaib ini Yesus masih tidak diakui. 


Dubium Methodicum ini seperti tidak berlaku untuk para murid, keterlaluan. Benar memang, tidak ada karena tidak ada sujud sembah, atau teriakan kemualian kepada yangmaha tinggi dan yangmaha kuasa, sebagai akibat keraguan mereka akan kehadiran Yesus saat itu dan ditempat itu. 


Malahan sebaliknya hanya ada sikap heran dalam bentuk pertanyaan, “siapa orang ini sehingga badaipun tunduk padanya.” Apakah mereka sedang di awang-awang keajaiban ? Benarlah bahwa “Dubium Methodicum” pada posisi tertentu tidak diterima seluruhnya untuk kebenaran iman. Para Rasul pula yang telah membuktikan bahwa iman akan Yesus tidak meluluh karena “Kesangsian Metodis” akan Yesus dan kehadiranNya. 


Lalu apa? Ya lupakan Dubium methodicum” untuk sementara dan  membuat pilihan tetap melihat persoalan atau mengalihkan pandangan kepada yang maha besar dan khalik semesta atau hanya focus pada masalah yang dihadapi untuk suatu persoalan iman. 


Manakala kita fokus pada masalah, iman tidak bangkit, dan akan hancur menghadapi masalah, tetapi jika fokus pada Tuhan, sebesar apapun masalah kita, kita akan mampu menyeberang hingga tuntas dan menyelesaikannya dan jadilah pemenang. Kiranya iman menghendaki kita mempercayakan diri kita pada Sang Deum Verum de Deo Vero.*** (Penulis Penyuluh Agama)


Iklan

Iklan