KASIH TANPA KETERANGAN (Catatan Refelektif)

By. Suswati - Al Hayon

Mutiara-timur.com- UNGKAPAN “Samaritan Love” bercikal bakal pada kisah bible, Luk 10:30-37, dengan judul, “Orang Samaria yang murah hati”. Di ujung dari membaca kisah ini, para pembaca  dihantar pada pertanyaan, “Apakah tindakan seorang iman dan seorang Lewi yang menghindari orang yang dirampok dan dipukul sampai “setengah mati” dalam kisah itu, benar atau salah dan harus dikukum?”

Jawaban perdana, berdasarkan pada The good Samaritan Law, “Bahwa melakukan tindakan keselamatan dengan dasar kemanusiaan adalah tindakan yang sungguh benar.” Apabila seseorang yang berada dalam kondisi genting dan mampu melakukan pertolongan pertama, maka dia wajib melakukannya- apapun hasilnya. Jika dia hanya diam saja maka dapat terkena sangsi hukum. Katakana saja, bahwa hukuman dijatuhkan bagi yang tidak menolong, yang kedapatan ada di tempat kejadian perkara/ TKP.

Jawaban kedua, kita urai sebagai berikut. Kita mulia dari (1) Seorang Imam. Imam dalam kisah itu sedang dalam perjalan dari Yerikho ke Yerusalem untuk tugas keimaman. Tentang Yeriko, Yeriko kala itu adalah tempat pemukiman atau layak disebut lokasi rumah-rumah dinas  untuk para pejabat bait Allah, atau tempat para imam tinggal. 

Sedangkan Yerusalem adalah pusat peribadatan Yahudi, kota Suci dan Bait Allah ditahktahkan di sana. Jadi ketika bertugas ke Yerusalem dan kembali akan melalui rute Yeriko-Yerusalem (PP), jalur seram dan banyak perampok di sana. 

Seorang imam mendapat giliran atau tugas keimaman di bait Allah 14 (hari) kali dalam 1 putaran. Jadi untuk mendapat giliran berikut, melayani di Bait Allah, mereka menanti selama 1 tahun. Karena itu persiapan diri mendapat prioritas, karena mereka akan mengambil seluruh tanggung jawab untuk segala urusan di bait Allah, dan ini adalah suka cita besar ketika melayani di Bait Allah.

(2) Seorang Lewi. Lewi adalah kaum turunan Lewi, salah seorang dari kelompok pemuji,  pengawal bait Allah. Ia juga betugas berdasarkan giliran atau jadwal jaga. Melayani Bait Allah bagi kelompok ini adalah juga suka cita besar. Mereka melayani 14 hari di bait Allah setelah menanti giliran setahun.

Ringkasnya, baik seorang Imam dan seorang Lewi, mereka adalah pelayan sekaligus petugas keimaman di Bait Allah, di Yerusalem. Di TKP  “Seorang Imam dan seorang Lewi itu menghindar (tidak membantu), ketika melihat seseorang yang dirampok tergelelak “setengah mati.” Kata “setengah mati” sama dengan sebagian kondisi orang yang dirampok sudah mati.

Menurut Kitab Imamat (pasal 21:1), ditegaskan, bahwa “Seorang imam tidak boleh menajiskan dirinya pada mayat, pada orang yang meninggal, siapapun orang yang menyentuh jenasah maka dia disebut najis, dan Kitab Bilangan 19:11 menetapkan, “tujuh hari lamanya masa najis itu.” 

Karena itu dapat disimpulkan bahwa waktu pelayanan terkurangi 7 hari dari waktu giliran melayani 14 hari bila najis. Risiko mengurangi waktu melayani oleh karena menajiskan diri dinyatakan tidak layak bahkan tidak boleh terlibat dalam pelayanan di bait Allah. 

Tentang seorang Samaria. Dalam kisah itu ia tidak ada nama, tidak punya CV (Curiculum vitae), cuma disebut “seorang Samaria,” yang tampil sebagai superhero. Konteksasi Samaria berarti suatu wilayah dibagian utara yang didiami kelompok orang kelas dua. Mengapa?  Karena mereka dianggap penyembah singkretisme, yakni mengabungkan agama dengan budaya dalam kepercayaan mereka. 

Orang Samaria dipandang sebelah mata (bahkan tidak dipandang) oleh orang Yahudi karena mereka bukan turunan Israel atau Israel asli. Mereka dicap pengkhianat dan dengan itu menurunkan derajat atau martabat mereka. Mereka tidak dianggap dan tidak dihormati oleh orang Yahudi. 

Di TKP,  Alkitab membuktikan bahwa seorang Samaria datang, ia tidak menghindar, tetapi memeriksa dan menolong orang yamg “setengah mati,” itu. Kemudian memberikan P3K dan membawanya sampai ketempat penginapan dan dirawat. Ia harus keluarkan uang banyak.

Walau seorang Samaria itu melakukan tindakan terpuji, tindakan kemanusiaan, tetapi mengucapkan kata “Samaria” saja bagi orang Yahudi yang terepresentasi pada diri ahli taurat, haram hukumnya. Ketika ditanya Tokoh Cerita, “Siapakah yang telah menjadi sesama bagi orang dirampok itu?” 

Ahli Taurat menjawab, “Orang yang telah menunjukan belas kasihan kepadanya”. Gampangnya menyebut “orang Samaria”, tapi tidak dilakukan alhi Taurat, karena bagi mereka (orang Yahudi) dengan menyebut ‘Samaria”, berarti menajiskan bibir.

Tentang Tokoh Cerita (Yesus). Sebagai orang Yahudi dia menyebut “Seorang Samaria” dan tidak menajiskan, tidak  haram hukumnya. Kisah flashback untuk menyimak sikap laku orang Samaria, dalam Injil Lukas (Luk 9:51-56), seperti ini. “Mankala Yesus mau masuk Yerusalem, Ia mengambil jalur masuk di kampung orang Samaria. Di sana, waktu mau masuk kampung Samaria, orang-orang Samaria menolak, dan mengusir Yesus.” 

Di kisah Yesus mengenai, “Orang Samaria yang murah hati,” selaku seorang oposan, seharusnya Yesus mengisahkan secara terbalik, misalnya, Perumpamaan tentang ‘Seorang Samaria yang tidak berbudi’ atau ‘Seorang Samaria yang tidak empati’ dan lain-lain. Yesus justru tidak merasa kecewa, dendam atau bermusuhan ketika mengalami penolakan dari orang Samaria dan tetap melakukan kasih dengan menyebut atau berkisah “Orang Samaria yang murah hati.” 

Aplikasi kisah seorang Samaria dan Yesus selaku Tokoh Cerita, terletak pada “Kasih yang tulus”. “Kasih tanpa keterangan.” Maksud “kasih tanpa keterangan” adalah kasih yang tidak memperhitungkan ini atau itu. Kasih yang tidak mengharapkan imbalan sepadan. Kasih karena itu atau karena ini atau kKasih karena ada U dibalik B, dll. 

Kasih atau mengasihi “tanpa keterangan” berarti ada ketulusan dan keikhlasan di sana, terutama dalam panggilan atau pelayanan kemanusiaan. 

Apakah kita yang menamakan diri dan dijuluk orang-orang percaya sudah mampu melakukannya? Atau masih membalas kasih dengan kebencian, dan itu kejahatan, atau sudah beralih dari membalas kebencian dengan kasih, dan hal ini adalah tindakan manusiawi dan ilahi sifatnya, serta bukti diri sebagai orang percaya. Kasih orang-orang percaya harus “Kasih tanpa keterangan” atau “kasih yang tulus.” (Penulis Penyuluh Agama).

Iklan

Iklan