Penulis: Suswati D. - Vinsens A. Hayon |
Mutiaratimur.com. || CATATAN Reflektif- “Salus Populi Suprema Lex,” (Keselamatan atau kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi). Adagium Latin ini sering marak dan jadi pemantik kala suksesi pemimpin baru.
Pada zaman Samuel, seorang pelihat (=nabi) yang hidup di zaman Saul belum menjadi raja bangsa Israel, adagium ini juga berlaku.
Padahal sistem pemerintahan kala itu adalah theokrasi (pemerintahan dari Allah). Allah adalah raja di raja, Sang Khalik semesta. Allah penghendak segalanya, penguasa tunggal atas Israel.
Ia berstatus “tremendum et fascinosum” (menggentarkan namun memikat), berkedudukan “transenden sed imanen” (jauh namun dekat).
Penguasa tunggal, Allah inilah yang telah menjadikan bangsa Israel jaya atas bangsa Mesir dan yang telah meruntuhkan segala kekuasaan Babilonya atas Israel. Ia yang memulangkan bangsa Isarel ke tanah terjanji yang bekelimpahan susu dan madu, di Kanaan.
Penguasa tunggal Bangsa Israel, yakni Allah sendiri kemudian berganti wujud mnausia dalam memimpin umat-Nya, dalam diri raja.
Mari simak proses Saul menjadi raja Israel, wujud Allah. Dasarnya pada keinginan massa-umat Israel. Kepada Sang Pelihat Samuel, mereka mendesak, “Supaya memiliki raja” seperti bangsa-bangsa lain. Pemimpin yang konkret, yang kelihatan. “Kami ingin seperti itu,” desak mereka.
Atas keinginan akan pemimpin yang krokret ini, pandangan anthropomorfistis menggarisbawahi bagaimana perasaan Allah ditolak oleh massa-umat-Nya sendiri sebagai Raja di raja.
Samuel sebagai Pelihat dalam Kitabnya (lih. 1 Sam pasal 8), mengisahkan, bahwa permintaan di atas mengesalkan Samuel, karenanya berapi-api ia menolak dengan cara membela wewenang dan wibawa Tuhan, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.
Dalam konstruksi pemikiran Samuel, “Massa-umat Israel kurang ajar, dan tidak tahu berterima kasih.” Mereka lupa segala kebaikan “Raja di raja”. Atas keingingan umat demikian, (Lih. 1 Sam 8:7-9) Tuhan mengatakan, “Samuel, dengarkanlah perkataan mereka, kabulkan saja permintaan mereka, sediakan raja untuk mereka dan nanti Aku akan mengatur susunan, birokrasinya, dan apa kewajiban mereka terhadap raja,” demikian titah Tuhan.
Selanjutnya raja baru Israel siap dipilih dengan mengusung dua cara pemilihan, pertama, Samuel mengatur kondisinya dan si calon langsung di urapi Samuel dan menjadi raja (1 Sam. Pasal 9), dan kedua, Massa-umat dikumpulkan dan membuang undi di antara calon yang disiapkan menjadi raja.
Sebelum menuju ruang pengurapan atau siap diundi, perlu diketahui, “Siapa calon raja? Dialah Saul. Nama “Saul” berarti “yang diminta” (didoakan). Alkitab tidak menyebutkan secara detail usianya tetapi diperkirakan 30 tahun atau lebih. Karena menurut tradisi Yahudi di usia itu seseorang seperti Saul sudah dewasa dan dapat melaksanakan tanggung jawab.
Saul adalah pemuda yang elok rupa. Bahasa Ibrani untuk “elok rupa” adalah “tob.” Tob artinya elok dari ujung rambut sampe ke ujung kaki, Waowww. Arti lainnya adalah “enak dipandang (elok), gentle; gagah, ganteng, wibawa, dan tidak ada dari antara orang Israel yang melebihi keelokan Saul”.
Alkitab menjelaskan secara detail seperti berikut, postur tubuh Saul dari bahu sampai kaki, lebih tinggi dari bangsanya. Jadi secara fisikly oke, secara ekonomi dan finansial dapat diandalkan, dan rekam jejak lain, yakni Saul punya strategi jitu dalam memimpin.
Hal ini terbukti manakala ia membantu Suku Yabes menang perang melawan Bani Amon. (lih. 1 Sam Pasal 11-14). Saul muda tidak mengerti strategi berperang karena pekerjaannya sebagai peternak. Tetapi ia punya strategi jitu, yakni melakukan “gerakan wajib perang” bagi semua warga Israel.
Praksis strategi adalah ia membagikan potongan-potongan daging kerbau kepada seluruh warga Israel (untuk membantu mereka) dengan pesan, “Seperti potongan-potongan kerbau ini demikian juga kuperlakukan kalian jika tidak menemuiku di lapangan.”
Setelah seluruh umat Israel berkumpul di lapangan dan puluhan ribu siap berbaris bersamanya (Lih. 1 Sam. Pasal 12-13), dia mengatur mereka ke kelompok 3000-an, dan bersama Suku Yabes maju memerangi Bani Amon. Mereka kemudian menang perang.
Keunggulan-keunggulan Saul secara fisik, pemikirannya, status sosialnya dan back ground ekonmi keluarga (dan diyakini atas penyelenggaraan Tuhan) sangat memungkinkan Saul terpilih sebagai Raja Israel. Prosesnya sebagai berikut (Lih. 1 Sam 10:17), ketika Saul sedang menggiring keledai dan sibuk dengan urusannya, massa-umat sedang berkumpul, siap untuk pemilihan raja. Si Pemuda Saul dipanggil untuk proses pemilihan ini.
Ketika Saul berdiri di tengah massa-umat yang berkumpul, semua yang hadir terkagum-kagum melihat Saul. Dari ujung rambut sampai ujung kaki “sangat elok” (=Tob), amat dewasa di usianya, dan datang dari turunan berada. Segala kriteria dan persyaratan dipenuhi. Kemudian Samuel mengurapi Saul jadi Raja Israel dan Seluruh hadirin langsung melegitimasinya. Saul menjadi Raja Israel.
Latar belakang keluarga. Raja Saul berasal dari Suku Benyamin, suku kecil. Ayahnya bernama Kish. Mereka dari keluarga peternak keledai, dan dari keluarga berada (1 Sam. 9:1). Pertanyaanya, “Apa hubungan keledai dengan kekayaan?”
Keledai adalah kendaraan para bangsawan, jadi dapat dibayangkan bahwa keluarga ini memproduksi kendaraan melalui beternak keledai, maka tidak heran mereka disebut sebagai keluarga yang berada, dan secara finansial mereka mapan, suku kecil namun punya status sosial tinggi karena kekuatan ekonomi-finansial melampaui yang lain.
Keterpilihan Saul dalam konteks “keinginan bangsa Israel” merujuk juga pada kriteria lain, seperti, orang itu harus menonjol, orang itu harus “lebih tinggi” dalam banyak hal, orang itu harus mampu dan terseleksi, memiliki modal finansial, berstatus sosial yang tinggi dan mapan dari segi ekonomi, serta punya kecerdasan berpikir.
Bahkan Tuhan juga menyetujui. Dia tahu “isi kepala” bangsa Israel. Raja atau pemimpin yang mereka cari syaratnya dipenuhi Saul, dan Tuhan melalui Samuel mengurapi Saul menjadi Raja Israel. Ia pemimpin populis yang elok, pemimpin yang memihak pada umatNya, pemimpin yang merakyat, yang berjuang untuk kesejahteraan rakyat.
Walau di mata rakyat, demikian hebat Sang Raja dan Pemimpin populis ini tetapi belum cukup untuk menopang Saul sang raja menjalankan tanggung jawab sebagai wakil Tuhan. Mengapa? Jawabnnya tertulis dan terwariskan, bahwa di tahun-tahun kepemimpinanya, ia mulai melanggar kehendak Tuhan (bdk. 1 Sam pasal 13).
Ketika mengalami keterjepitan menghadapi musuh, dia bukan datang ke Tuhan, atau kepada Pelihat Samuel sebagai “Corong Allah” tetapi melakukan korban bakaran dari harta (hewan) rampasan. Pada posisi ini Saul Sang Raja jatuh pada penyembahan berhala dan menduakan Tuhan. Sang Raja rapuh dan dan dapat runtuh oleh perbuatannya sendiri yang berdampak fatal.
Apa yang mau dikata sekarang? Kekayaan dan kehormatan, elok rupa-performance secara fisikly menawan, strategi perang yang jitu, kemampuan intelektual-Keceradasan otak yang mumpuni- tidak cukup menjadi pemimpin populis elok, apalagi massa-umat yang dipimpin adalah massa-umat Allah.
Saul Sang Pemimpin populis yang elok rapuh oleh tindakan dan kebijakannya karena menyalahi kehendak Tuhan, akhirnya harus lengser dari kedudukan dan runtuh dari jabatan sebagai raja.
Eksegese kontekstual bagi pemimpin hari-hari ini dengan bercermin pada pola kepemimpinan Saul yang disiarkan secara biblis adalah selain segala keistimewaan yang dimiliki secara pribadi (sebagai gift), termasuk Phisical Capital, dan IQ (=Kecerdasan Otak) yang tinggi, harus dibarengi dengan sikap “taat dan patuh” (Obidience-Loyalty) pada Allah, jujur (honesty) dalam kehidupan dan tugas, memiliki “SQ” (=Kecerdasan Spiritual), dalam arti takut pada Allah, punya “EQ” (=Kecerdasan Emosional) yang tegak-vertikal, bukan “jongkok”, punya sikap syukur (Gratitude) dan tulus mengakui kebahagiaan-kesuksesan orang lain, bukan jelous kepada oposan yang berhasil seperti kepada Daud yang siap menggantikannya sebagai Raja Israel.* (Penulis Penyuluh Agama)