Oleh: Al Hayon-Saturlino Correia |
Kupang,MT || Tema Natal yang ditetapkan oleh PGI (Persekututan Gereja-gereja di Indonesia) dan KWI (Konferensi Waligereja Indonessia) adalah “Marilah Sekarang Kita Pergi Ke Betlehem.” Dengan tema ini seluruh warga kristiani diajak untuk merefleksikan makna terdalam kelahiran Yesus dan ziarah iman para gembala menyambut kelahiran Yesus, Sang juru selamat.
Setelah mendengar kabar malaekat, lekas-lekas dengan penuh sukacita para gembala ke gua Betlehem. Mereka meninggalkan segala miliknya untuk menyaksikan kabar baik di Betlehem. Di sana mereka berjumpa keluarga dari Nasaret: Myriam, Yusuf, dan Yesus, Sang Kabar Sukacita.
Actus “meninggalkan segala milik” mencerminkan panggilan untuk mengutamakan Sang Kabar Sukacita, dan kesiapan bersaksi. Aksi ini hendaknya menginspirasi umat Kristiani untuk meneladani respons para gembala akan Kabar Baik.
“Sikap tanggap” dan “aksi lekas” ini merupakan bukti iman atas warta sukacita kelahiran Yesus. Suatu sikap iman yang sederhana sekali yang kokoh berdiri pada harapan sejati akan keselamatan dan wujud setia-taat yang “pure” kepada Tuhan.
Mari Ke Betlehem.
Betlehem secara historis dan sebagai realita fisik, tidak menjadi sorotan utuh saat ini, namun kemasyuranya oleh keyakinan iman kristiani akan menjadi key point permenungan ziarah iman umat Kristiani. Permenungan didalami lanjut dengan dituntunan pertanyaan ini, “Mengapa ke Betlehem?” Jawaban di antaranya sebagai berikut.
Pertama, Inkarnasi mewujud di sana, dan menjadi pokok iman Kristiani. (Inkarnasi sesungguhnya telah terjadi -mewujud- manakala kabar gembira disampaikan (Lukas 1:30, 35). Malekat katakan, “Engkau akan mengandung dan melahikran seorang anak laki-laki dan engkau harus menamai Dia, Yesus. Roh Kudus akan menanungi engkau”).
Inkarnasi, Sang Sabda menjelma menjadi manusia merupakan metafor agung bagi relasi khas antara cinta, solidaritas dan pengorbanan. Ini harus menjadi kesadaran inkarnatoris bagi kita. Karena “Kalau bukan karena cinta, Jika tidak karena solidaritas dan pengrobanan mulia” apalah arti sebuah inkarnasi.
Tesis ini benar dan utuh bagi inkarnasi, bahwa “Allah e o principio sem principio,” (terminologi berbahasa portugis) yang artinya “Allah menjadi pemula yang tiada bermula”. Term Latinnya, “Allah est prinscipium qui non incipit.” Makna kedua tesis ini, Allah adalah sumber segala sesuatu dan memiliki keberadaan yang kekal, tanpa awal dan tanpa akhir, yang menyelenggarakan segala yang ada.
Inkarnasi juga dan efeknya seolah meruntuhkan martabat Allah yang agung dan serba maha dan sekaligus jadi olok-olok abadi bagi mereka yang tidak mengimani Yesus sebagai anak Allah. Bagi berpandangan bahwa antara Allah dan manusia terpisah oleh “tembok” maka tidak mungkin terdamaikan. Tentu saja sulit bagi mereka memahami misteri inkarnasi ini, tulis Prastowo dalam buku “Gereja Yang Mendengar, terus berubah –tetap setia,” (Penerbit Lamalera, 2024).
Padahal Inkarnasi (secara faktual dan meta historis) sungguh relevan dan menemukan urgensinya persis pada titik ini: ia menjembatani antara Ia “Yang ada di seberang sana” dan “kekinian yang nyata,” antara “Yang Ideal” dan “yang riil”.
Kini dipahami, bahwa Allah justru hadir dalam paradoks ini: Ia menjadi manusia, lemah tak berdaya, terkurung situasi serba cacat dan mengosongkan diri (kenosis), agar Ia sungguh menjadi Allah yang welas asih dengan mengangkat kemanusiaan menuju keilahian (theosis). Manusia pada titik akhir kehidupan memiliki harapan ekskatologis, di mana inkarnator adalah “Jembatan atau medium.” Ini lah fungsi penjelmaan -inkarnasi.
Inkarnasi ini memungkinkan dunia tempat huni manusia bukanlah situs kutuk. Dunia sebaliknya adalah ladang rahmat yang memungkinkan manusia dengan segala ketersitusian dan potensialitasnya dapat mencapai kepenuhan. Dengan demikian hal yang tak terjangkau, terjangkau dan perkaranya menjadi jelas: penjelmaan adalah istilah lain bagi keterlibatan.
Inkarnasi (in = menjadi, carnare = daging), bermakana memberi daging atau isi bagi tiap bejana kesempatan agar suatu maksud atau potensi menjadi nyata -terwujud. Suatu analoginya yang bernilai imani, serupa ini: kandang dan palungan menjadi tempat tinggal dan meletakan makanan untuk domba-domba yang kemudian diambil daging untuk makanan tubuh jasmani. Yesus menjadi santapan rohani pada peristiwa Betlehem ini.
Kedua, Damai sejahtera dan sukacita. Menemukan damai di Betlehem diangkat dalam konsep kehidupan “berdamai dengan situasi”. Suatu ajaran yang sangat realistis untuk menerima kenyataan hidup apa adanya, sebagai suatu fakta sehingga lahirlah sukacita untuk beradaptasi dan siap berdinamika, bergerak maju. Inilah didikan secara alami sekaligus rohani. Di sini letak eksistensi dan esensi manusia dengan lingkungannya tempat ia hidup, bergerak dan ada.
Damai sejahtera dan sukacita memiliki dinamika positif di Betlehem ini, dan merupakan support system dan starting point untuk beraksi tidak hanya pada tataran verbal tetapi lahir menjadi tindakan atau aksi nyata. Tidak hanya sebatas orthodoksi, wejangan atau khotbah, tetapi harus menjadi orthopraksis, praktek hidup.
Ajakan, “Mari ke Betlehem” adalah gerakan otentik karena iman. Pada konteks ini iman tidak hanya merupakan kredenda tetapi agenda. (Arti agenda: rencana dan tujuan yang harus dicapai atau sebagai sesuatu yang harus dijadikan bagian penting atau tujuan yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari). Iman harus menyerupai agenda karya, dan tidak sekadar sebagai credo (keyakninan) semata.
Searah warta Yakobus. “Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati,” (Surat Yakobus, 2:7) Iman mengajarkan tidak hanya mewajibkan kepada ibadah rutin dan meningkatkan pengetahuan (keagamaan) tetapi harus diejawantahkan pada aksi (action) baik kepada sesama. Ini pengakuan dan perwujudan iman yang mampu merubah kehidupan.
Ketiga, Hidup sederhana dan belajar dengan hati. Di Bethlehem (Ibrani: beit = rumah dan lehem= roti/ daging): rumah roti -daging) para gembala menyaksikan kesederhanaan hidup. Hidup yang dibangun sesuai konteks providentia divina dei (Penyelengaraan Ilahi Allah). Atas pemandangan ini, kondisi kontekstual Betlehem mengajarkan dan membelajarkan hal yang luar biasa dengan hati.
Bertolak dari penjelasan Mary Elisabeth Mullino Moore dalam bukunya Teaching from the Heart: Theology and Educational Method (Harrisburg, PA: Trinity Press International, 1998) dan Parker J. Palmer, dalam bukunya Healing the Heart of Democracy: The Courage to Grate a Poltics Worhy of the Human Spirit (San Francisco, CA: Jossey-Bass, 2011) dapat ditarik benang merah bahwa, konteksasi Betlehem mengajarkan dan membelajarkan sesuatu yang bernilai bagi kehidupan dengan hati.
Bahwa hati adalah bagian integral dan utuh, bukan menunjuk hanya kepada dimensi emosional dari kepribadian seseorang tetapi hati menunjuk dan merangkul totalitas kedirian manusia, yaitu intelektual, kehendak, emosi, dan tindakan.
Di Betlehem para gembala sebagai adalah reprentasi kita, sedang menegaskan kepada kita, bahwa secara kontekstual ada pembelajaran yang tidak semata-mata menekankan dimensi kognitif belaka, tetapi sebaliknya dalam kedua aksi secara timbal balik itu, kita membuka ruang bagi seluruh dimensi dari kedirian kita, baik secara individu maupun secara komunal.
Kata lainnya Peristiwa Betlehem tidak selalu harus dipahami secara logika dengan melepaskan ilmu rasa. Tidak hanya pembelajaran secara historis saja tetapi suatu epistemolgi iman yang sangat menuntut ejawantah.
Dalam konteks kekinian kita diajak untuk belajar dengan hati dari situasi dan kondisi Betlehem ini. Jika tidak maka kendatipun kita seribu kali merayakan Natal dengan mewah bahkan meriah sekalipun tetapi nilai kesederhanaan inkarnasi tidak lahir dalam diri kita maka perayaan Natal yang kita lakukan tidak ada maknanya. Yesus dalam situasi dan kondsisinya masih jauh dari hidup kita. Ia bukanlah Imanuel -Allah beserta kita- Deus Esta Conosco.***