Dugaan Mafia Tanah SBD: Kepala Desa Diberikan 3 Botol Bir dan Rp. 300 Ribu, Surat Pelepasan Hak Langsung Terbit

SBD-Kasus sengketa tanah di Kecamatan Kodi Utara, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), kembali mencuat setelah mantan Kepala Desa Ate Dalo, Nikolaus Dawa mengaku ketika menjabat sebagai Kepala Desa menerima tiga botol bir dan uang Rp. 300 ribu untuk menerbitkan dan menandatangani pelepasan hak atas tanah yang bukan berada di wilayahnya.

Demikian Nuria Haji Musa Korban mafia tanah kepada awak  media  melalui Video Call, Minggu, (23/02/25).


Persoalan ini bermula sejak tahun 2006, ketika Nuria Haji Musa membeli tanah seluas 7,5 hektare di Desa Kelenarumo. Pembayaran tanah tersebut dilakukan bertahap hingga akhirnya lunas pada tahun 2012 dengan harga Rp200 juta. Setelah transaksi selesai, pihak pembeli bersama pemilik tanah mengurus sertifikat ke Kantor Pertanahan. Namun, proses pengukuran yang seharusnya dilakukan mengalami hambatan hingga bertahun-tahun.


Masalah semakin rumit ketika pada tahun berikutnya diketahui ada pengukuran tanah yang dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik sah. Pengukuran tersebut dilakukan oleh seorang anggota DPRD Provinsi yang disebut mengklaim tanah tersebut. Ketika keluarga pemilik tanah mempertanyakan hal ini ke Kantor Pertanahan, mereka mendapat jawaban yang tidak memuaskan.


"Kenapa sertifikat tanah kami tidak keluar padahal sudah satu tahun lebih sejak pengukuran dilakukan?" tanya pihak keluarga kepada pejabat Kantor Pertanahan.


Setelah diselidiki, diketahui bahwa pengukuran dilakukan di luar jam kerja oleh seorang petugas yang diperintahkan oleh seorang pejabat tanpa adanya surat pelepasan resmi dari desa dan kecamatan.


Saat keluarga pemilik tanah menelusuri lebih jauh, mereka mendatangi kepala desa yang menandatangani surat pelepasan tanah tersebut. Saat ditanya alasannya, kepala desa itu mengaku, "Saya dikasih minum bir tiga botol dan uang Rp300 ribu, maka saya langsung tanda tangan tanpa berpikir panjang."


Pengakuan tersebut sontak membuat keluarga pemilik tanah geram. Mereka menuntut keadilan dan berusaha melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian. Namun, laporan mereka ditolak dengan alasan bahwa kasus ini masuk ranah perdata, bukan pidana.


Keluarga korban pun mencoba mencari solusi dengan mengadakan pertemuan keluarga dan mendiskusikan langkah selanjutnya. Mereka juga berusaha melibatkan camat untuk mencari jalan damai. Namun, hingga saat ini, kasus ini belum menemukan titik terang, sementara tanah yang mereka beli justru telah diklaim oleh pihak lain dengan sertifikat yang berbeda.


Kasus ini menyoroti praktik jual-beli tanah yang sarat dengan penyimpangan dan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh aparat desa dan pertanahan. *(usgo/tim)







Iklan

Iklan