Jakarta - Sengketa lahan di Nangahale, Kabupaten Sikka, NTT kembali mencuat. Kuasa hukum PT. Krisrama, Petrus Selestinus, pada Kamis (13/2/2025) menegaskan bahwa klaim hak ulayat yang diajukan oleh kelompok yang mengatasnamakan masyarakat adat Suku Soge Natar Mage dan Suku Goban Runut tidak memiliki dasar hukum.
Petrus Selestinus, yang juga merupakan Advokat Perekat Nusantara dan Koordinator TPDI, merujuk pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pengakuan hak ulayat hanya diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum adat yang nyata keberadaannya dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurutnya, selama lebih dari 113 tahun, sejak 1912, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kedua suku tersebut memiliki hak ulayat atas lahan tersebut. "Faktanya, selama lebih dari 100 tahun, lahan HGU Nangahale dikelola PT. Krisrama dengan legal standing yang sah, tanpa adanya gugatan. Namun, tiba-tiba muncul klaim ini," ujarnya dalam keterangan tertulis.
Petrus juga menyebut bahwa kelompok yang mengaku sebagai masyarakat adat tidak memiliki data fisik dan yuridis yang mendukung klaim mereka. Mereka juga tidak terdaftar sebagai pemegang hak ulayat di Kantor Pertanahan Sikka serta tidak pernah membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas lahan tersebut. Ia bahkan menyebut kelompok ini sebagai "Organisasi Tanpa Bentuk (OTB)".
Lebih lanjut, Petrus memaparkan sejumlah peristiwa hukum dan fakta yang memperkuat legal standing PT. Krisrama atas lahan tersebut, antara lain:
- 1926: Amsterdam Soenda Compagni menjual Perkebunan Nangahale seluas 1.438 hektare kepada Apostholishe Vicariaad van de Klaine Soenda Ellanden.
- 1956: Vikariat Apostolik Ende mendapat persetujuan Pemerintah Swapraja Sikka untuk mengembalikan sebagian tanah konsesi Nangahale (sekitar 783 hektare).
- 1979: Setelah UU Pokok Agraria berlaku, Keuskupan Agung Ende mengajukan permohonan Hak Guna Usaha (HGU).
- 20 Juli 2023: Negara memberikan HGU kepada PT. Krisrama seluas 3.258.620 meter persegi.
Petrus menegaskan bahwa pemberian HGU oleh negara kepada PT. Krisrama telah melalui proses panjang dan kajian ketat. Ia juga membantah narasi yang menyebut adanya pelanggaran HAM dan penggusuran warga oleh Gereja. Menurutnya, PT. Krisrama dilarang menyerahkan pemanfaatan lahan HGU Nangahale kepada pihak lain, kecuali sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sengketa ini masih terus menjadi sorotan dan memerlukan penyelesaian yang adil dan bijaksana. *(go)