Sumba Barat Daya – Sengketa tanah yang menimpa Nuria Haji Musa terus bergulir, memperlihatkan kompleksitas kasus pertanahan di Sumba Barat Daya. Nuria kini dalam momen penuh harap, saat ia berbicara melalui video call tanggal 21 Februari 2025 kepada media untuk mengungkap kronologi pembelian tanahnya yang kini diperebutkan.
Di balik senyumnya yang tegar, terpancar kelelahan dari perjuangan panjang mencari keadilan. Dengan latar belakang bukti dokumen kepemilikan, Nuria menegaskan haknya atas tanah seluas 7,5 hektar yang ia beli sejak 2006 dan lunas pada 2012.
“Saya beli tanah itu tahun 2006, pembayaran lunas di 2012. Setelah itu kami lakukan pengukuran bersama pihak desa dan kecamatan, karena di Sumba, tanpa pelunasan tidak bisa dilakukan pengukuran,” ungkap Nuria.
Setelah pelunasan, ia mendekati kepala desa dan camat untuk mengurus pelepasan hak secara adat. “Kami kumpul suku, sekitar 50 orang dari keluarga Wayengo. Pelepasan tanah dilakukan resmi di kantor Kecamatan Kodi Utara. Setelah semuanya lengkap, kami bersama pemilik tanah menuju kantor pertanahan,” jelasnya.
Pihak pertanahan meminta waktu tiga hari sebelum turun ke lokasi. Nuria membeli delapan pilar batas tanah, membiayai transportasi petugas, dan turut serta dalam pengukuran di lapangan. “Waktu pengukuran, kami tidak ada kendala sama sekali. Semua aman, tidak ada protes, tidak ada satu batu pun yang dilempar,” tegasnya.
Setelah pengukuran, Nuria melapor kembali ke kecamatan dan desa untuk memastikan dokumen pelepasan tanah lengkap. Tidak ada perlawanan dari pemilik tanah maupun suku lainnya. “Pemilik aslinya adalah Bapak Petrus Pati Kambeka, yang menerima pembayaran penuh dari saya. Dia sendiri mengakui bahwa tanah itu sah milik saya,” ujar Nuria.
Namun, masalah mulai muncul saat Nuria menunggu sertifikat tanah keluar. Setelah bertahun-tahun, sertifikat itu justru terbit atas nama orang lain, yang disebutnya memiliki hubungan dengan seorang mantan anggota DPRD Provinsi bernama Hugo Kelembu.
“Saya kaget! Tanah saya diukur lagi secara diam-diam, tanpa sepengetahuan saya dan pemilik sah,” ujar Nuria.
Ia pun berjuang mencari keadilan. Mediasi di kecamatan gagal karena pihak tergugat tidak hadir. Laporannya ke Kapolres Sumba Barat ditolak, dan ia disarankan langsung menggugat ke pengadilan.
Pada 2022, setelah 20 kali persidangan di Pengadilan Negeri Sumba Barat Daya, Nuria akhirnya dinyatakan menang. Bahkan, dalam sidang lapangan ke-12, ditemukan fakta bahwa lokasi tanah yang diklaim Hugo Kelembu berada di kecamatan dan desa yang berbeda.
“Desanya beda, kecamatannya beda. Jaraknya dari lokasi tanah yang saya beli kurang lebih 1,7 kilometer,” tegasnya.
Camat dan kepala desa juga memberikan kesaksian yang menguatkan kepemilikan Nuria. “Camat menyatakan bahwa tanah yang diklaim Hugo bukan bagian dari kecamatannya. Kepala desa juga menegaskan bahwa tanah yang disengketakan adalah milik saya,” kata Nuria.
Namun, saat kasus naik ke Pengadilan Tinggi, putusan berbalik. Nuria dinyatakan kalah dengan alasan kontrak memori tidak dimasukkan oleh pengacaranya.
“Kami tidak tahu soal itu. Kami awam, kami percaya penuh pada pengacara,” kata Nuria dengan nada sedih.
Kini, kasus tersebut berada di tingkat kasasi di Mahkamah Agung sejak 16 April 2024. Hingga hari ini, keputusan belum juga keluar.
Akankah keadilan berpihak padanya? Atau justru kepentingan pihak berkuasa yang akan menang? Jawaban masih dinantikan.
“Kami hanya ingin keadilan. Saya mohon ada orang yang bisa membantu kami. Saya percaya keajaiban Tuhan. Saya bertemu orang baik di atas kapal Dharma Kartika, dan saya berharap kebaikan itu terus berlanjut,” pungkasnya.
Ketua DPW Patriot Pejuang Bangsa NTT Meki Nona Bersuara
Meki Nonna Ketua DPW Patriot Pejuang Bangsa NTT Meki Nona mengungkapkan, bahwa dirinya sebagai seorang aktivis sosial dan pemerhati hukum. Ia menegaskan bahwa kasus ini perlu mendapatkan perhatian lebih karena menyangkut hak kepemilikan yang sah.
“Kami melihat adanya indikasi kuat keterlibatan mafia tanah dalam penerbitan sertifikat ini. Jika benar ada pengukuran awal pada 2012 dan tidak ada pembatalan resmi, maka pengukuran ulang seharusnya tidak boleh dilakukan,” tegas Meki Nonna.
Menurutnya, dalam sengketa ini terdapat empat tergugat, termasuk BPN Sumba Barat Daya dan pemerintah daerah. Jika terbukti ada manipulasi atau penyimpangan dalam penerbitan sertifikat, maka ada kemungkinan terjadi pelanggaran Pasal 263 dan 266 KUHP tentang pemalsuan dokumen dan pemberian keterangan tidak benar.
“Kami akan menelusuri lebih lanjut. Jika ditemukan bukti adanya keterangan palsu atau penyalahgunaan wewenang, kami akan melaporkan kasus ini ke Polda NTT dan Kejaksaan Tinggi NTT,” tambahnya.
![]() |
Meki Nonna Ketua DPW Patriot Pejuang Bangsa NTT |
Kasus ini kini berada dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung sejak April 2024. Namun, hingga kini belum ada putusan resmi. Meki Nonna menegaskan bahwa lembaganya akan terus mengawal kasus ini agar tidak terjadi permainan hukum yang merugikan pihak yang berhak.
“Kami akan mengawal kasus ini hingga tuntas. Jika ada oknum yang bermain, maka kami akan membawa ini ke ranah pidana,” tutupnya.
Kasus ini semakin menyita perhatian publik setelah Meki Nonna, Ketua DPW Patriot Pejuang Bangsa NTT, menyoroti dugaan keterlibatan mafia tanah.
Ia mendesak agar aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dugaan manipulasi dalam penerbitan Sertifikat. Apakah Nuria Haji Musa akan mendapatkan haknya, atau justru mafia tanah akan kembali menang? *(go/tim)