Kupang – Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Nusa Tenggara Timur (NTT) menyampaikan pernyataan sikap terkait kasus yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman. Eks perwira kepolisian tersebut diduga melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur, menyebarkan video pelecehan melalui situs porno di Australia, serta terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.
Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua KPPI NTT, Ana Waha Kolin, S.H., bersama Sekretaris Margaretha Bubu, S.Pd, MM, serta pengurus lainnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPRD NTT pada Rabu (12/03). KPPI NTT menuntut agar pelaku dihukum maksimal serta mendesak DPRD NTT untuk mengawal kasus ini hingga tuntas.
"Kasus ini terungkap setelah otoritas Australia menemukan video pelecehan seksual terhadap tiga anak—berusia 14 tahun, 12 tahun, dan seorang balita berusia tiga tahun—di sebuah situs porno pada pertengahan 2024. Video tersebut diketahui diunggah dari Kota Kupang, NTT," ungkap Ana Waha Kolin.
Ketua KPPI menjelaskan Pemerintah Australia kemudian melaporkan temuannya kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) RI, yang meneruskan laporan ini ke Polda NTT dan akhirnya ke Mabes Polri. Pada 20 Februari 2025, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri menangkap AKBP Fajar di Kupang.
Margaretha Bubu, Sekretaris KPPI NTT menambahkan, "selain dugaan eksploitasi anak, hasil tes juga menunjukkan bahwa AKBP Fajar terlibat dalam penyalahgunaan narkoba."
Sekretaris KPPI NTT meneruskan bahwa Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Kupang telah memberikan pendampingan kepada korban selama 20 hari terakhir. Pelaksana tugas Kepala DP3A, Imelda Manafe, telah mengungkapkan bahwa ketiga anak mengalami trauma berat akibat peristiwa ini.
"Korban sangat membutuhkan perlindungan serta dukungan psikologis yang berkelanjutan. Kejahatan ini meninggalkan dampak mendalam yang tidak bisa diabaikan," ujar Margaretha.
Mengingat beratnya kasus ini, KPPI NTT menyatakan sikap dengan menuntut dan mendesak:
1. Pengadilan segera menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelaku, mengingat dampak psikologis yang ditimbulkan terhadap korban.
2. Pemanggilan Kapolda NTT oleh DPRD untuk memberikan penjelasan terkait penanganan kasus ini serta dugaan penyalahgunaan narkoba di tubuh kepolisian, termasuk di Polres Ngada tempat pelaku sebelumnya bertugas.
3. Pembongkaran jaringan mafia perdagangan orang, termasuk perdagangan anak, yang beroperasi di Kota Kupang dan seluruh wilayah NTT.
4. Percepatan proses hukum agar berkas perkara segera dilimpahkan ke kejaksaan dan pelaku dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
5. Peningkatan fasilitas perlindungan bagi korban, termasuk ruang aman dan layanan psikologis di Unit Pelayanan Korban DP3A Kota Kupang.
KPPI NTT menekankan bahwa tindakan AKBP Fajar melanggar beberapa undang-undang, di antaranya:
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), karena kejahatan ini melibatkan eksploitasi anak secara terorganisir.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang menjamin perlindungan terhadap korban dan menghukum pelaku kekerasan seksual.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang melarang peredaran video asusila.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang mengatur pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
KPPI NTT menegaskan bahwa kasus ini menjadi ujian serius bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya di NTT. Mereka berharap aparat penegak hukum dapat menindak tegas pelaku serta memastikan keadilan bagi korban
Menanggapi pernyataan sikap ini, Wakil Ketua Komisi V DPRD NTT, Wiston Rondo (Fraksi Demokrat), bersama Wakil Ketua Agus Nahak (Fraksi Golkar), Ana Waha Kolin, S.H; (Fraksi PKB), Mercy Piwung, S.H, (Fraksi PKB), Marlina Un, SE Fraksi (Demokrat), Lily Adoe, ( Fraksi PDIP) mengapresiasi langkah KPPI. Mereka berjanji akan menyampaikan tuntutan ini kepada Kapolda NTT serta memastikan kasus ini ditangani dengan transparan dan tanpa intervensi.
"Kita akan sama-sama mengawal proses hukum kasus ini agar berjalan sesuai aturan dan tidak ada pihak yang dilindungi," tegas Wiston.*(go)