Sita Eksekusi Tanpa Putusan Final, Kuasa Hukum: Ini Bentuk Kriminalisasi!


Kupang, – Kuasa hukum Ketut Rudy Utama, I Ketut Suyadnya, SH., MH., menyatakan keberatan atas perintah sita eksekusi yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Kupang Kelas 1A. Ia menilai perintah tersebut tidak sah karena kasus hutang piutang antara kliennya dengan Bank Krista Jaya masih dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung (MA) dan belum ada putusan final.

“Sampai hari ini belum ada putusan dari MA, tapi tiba-tiba ada perintah eksekusi. Ini tentu sangat mengagetkan dan tidak masuk akal,” ujar I Ketut Suyadnya kepada media Selasa, (25/3).

Kuasa hukum menegaskan bahwa tindakan eksekusi yang dilakukan pihak bank menyalahi prosedur hukum. Tanpa adanya putusan final dari MA, eksekusi tidak seharusnya dilakukan.

Kasus ini bermula dari pinjaman sebesar Rp100 juta pada tahun 2013 dengan jaminan mobil Suzuki Ertiga atas nama Ketut Rudy Utama. Seiring waktu, tanah milik Gabriel Odja dijaminkan untuk tambahan kredit. Namun, kuasa hukum menemukan kejanggalan dalam proses perpanjangan kredit yang dilakukan berkali-kali tanpa kejelasan.

“Biasanya, jika seseorang macet membayar kredit selama satu tahun, bank langsung bertindak. Tapi ini justru diperpanjang lebih dari 10 kali adendum. Akibatnya, pinjaman awal Rp100 juta membengkak menjadi Rp3,8 miliar,” ungkapnya.

Kuasa hukum juga mempertanyakan transparansi pengalihan kredit dari almarhum Gabriel kepada Ketut Rudy Utama. Ia menilai pengalihan ini dilakukan secara tidak wajar dengan alasan usia debitur.

“Kami bahkan belum sempat membaca secara detail dokumen induk perjanjian. Oleh karena itu, kami mengajukan gugatan ke PN atas dasar perbuatan melawan hukum,” jelasnya.

Dalam persidangan di PN, Bank Krista Jaya memenangkan perkara. Namun, Ketut Rudy Utama mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT), yang kemudian mengeluarkan putusan niet ontvankelijk verklaard (NO)—perkara tidak dapat diterima.

“Putusan NO itu artinya tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Namun, pihak bank tidak menerima keputusan ini dan mengajukan kasasi ke MA. Yang jadi masalah, kasasi ini sudah kadaluarsa secara administrasi karena baru dikirimkan kepada kami lebih dari satu bulan setelah batas waktu yang seharusnya hanya 14 hari,” bebernya.

Karena kasasi masih berjalan dan belum ada putusan, kuasa hukum menilai tindakan eksekusi pihak bank tidak sah.

“Tiba-tiba muncul surat yang menyatakan akan dilakukan sita eksekusi. Ini jelas melanggar prosedur hukum,” tegasnya.

Kuasa hukum juga mempertanyakan prosedur eksekusi yang dinilainya cacat hukum. Seharusnya, sebelum sita eksekusi dilakukan, ada tahapan pemanggilan atau aanmaning terlebih dahulu.

“Bank harus mengajukan permohonan ke PN, lalu pengadilan mengeluarkan penetapan. Kalau bisa diterima, baru sita eksekusi dilakukan. Tapi dalam kasus ini, tahapan tersebut tidak dilakukan sama sekali,” ungkapnya.

Selain itu, aset yang disita juga dipertanyakan. Awalnya, jaminan hanya berupa mobil Suzuki Ertiga senilai Rp100 juta. Namun, bank juga menyita truk serta tanah seluas 2.420 m² beserta bangunan di atasnya.

“Kami menilai ada unsur kriminalisasi dalam kasus ini. Kredit awal atas nama suami, tapi tiba-tiba dialihkan ke nama istrinya tanpa sepengetahuan mereka. Ini jelas tidak sesuai aturan perbankan,” katanya.

Ketua PN Kupang Kelas 1A, Fery Haryanta, SH., mengirimkan surat permohonan bantuan keamanan kepada Kapolres Kupang Kota dengan nomor 135//KPN.PN.W26.U1/HK.2.4/III/2025 tertanggal 18 Maret 2025.

Surat tersebut menyebutkan bahwa PN Kupang akan melaksanakan sita eksekusi terhadap aset jaminan di Kelurahan Liliba, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, pada Selasa, 25 Maret 2025 pukul 13.00 WITA. Seluruh biaya eksekusi akan ditanggung oleh pemohon eksekusi, yakni Bank Krista Jaya.

Kuasa hukum berharap ada keadilan dalam proses hukum yang berjalan. Pihaknya telah mengajukan keberatan tertulis hingga ke MA serta mengirimkan pengaduan masyarakat (dumas) untuk meminta keadilan.

“Harapan kami, kasus ini diproses sesuai aturan hukum dan tidak merugikan klien kami. Kami masih membuka ruang untuk mediasi, tetapi harus dilakukan secara sah dan melalui pengadilan,” pungkasnya.

Kasus ini masih terus bergulir, dan pihak kuasa hukum menegaskan akan melakukan langkah hukum lebih lanjut demi mendapatkan keadilan. *(go)

Iklan

Iklan