HARUN DAN DEHUMANISASI (Sebuah Refleksi)

Oleh: Germanus Attawuwur

Pengantar

Sabtu senja, 5 April 2025. Temanku terlihat terisak. Saya bertanya, mengapa menangis? Kemudian dia menyodorkan sebuah video tentang tindakan tidak terpuji oleh beberapa orang dewasa terhadap seorang anak remaja.

Saya tidak paham kata-kata dalam video itu karena menggunakan bahasa etnis Kedang. Peristiwa keji itu terjadi di desa Normal, Kecamatan Omesuri, kabupaten Lembata.

Yang saya lihat di video itu adalah anak malang itu ditarik-tarik seorang ibu lalu dipukul dan ditendang oleh seorang bapa sedangkan yang lain menonton.  

Belakangan baru saya tahu, remaja itu namanya Harun, tapi bukan Harun Masiku. Dia berumur 15 tahun, lelaki remaja drop out kelas IV SD. Dia telah kehilangan ayahnya. Karena tertangkap basah mencuri sepasang sendal.Dia dipukul, disuluti rokok, diikat tangannya dan diarak keliling kampung dalam keadaan tanpa sehelai busanapun. 

Dehumanisasi.

Tindakan main hakim sendiri dengan memukul, menyuluti dengan rokok, dan bahkan mengarak Harun dalam keadaan telanjang adalah tindakan pelecehan kemanusiaan. Sang anak direndahkan martabatnya sebagai Citra Allah. Tindakan perendahan martabat seseorang itulah yang disebut dehumanisasi.

Dehumanisasi terhadap Harun, tentu mengakibatkan trauma mendalam. Dia akan berkembang dalam kekerdilan mental. Dia merasa diri bukan sebagai some body melainkan no body. Dia pada gilirannya akan kehilangan jati dirinya. Dehumanisasi memunculkan komentar yang pro dan kontra.

Dehumanisasi melahirkan juga gerakan peduli bersesama. Mereka yang peduli terhadap nasib Harun melakukan gerakan aksi Rp 1000 untuk Harun. Konon, aksi solidaritas ini telah mengumpulkan uang sekitar Rp 2.000.000.

Lalu, Harun segera diambil dan diamankan oleh Direktris LSM Perlindungan Anak Lembata, ibu Maria Loka Wayan, pasca peristiwa tragis itu. Para pejabat melakukan kunjungan untuk mengetahui kondisi anak malang ini. Wakil Bupati Lembata tergelitik nuraninya. Beliau menyatakan untuk membiayai Harun hingga kuliah. Harun pun diminta untuk tinggal di rumahnya.

Koreksi Biblis

Tindakan mempermalukan Harun dengan cara-cara tidak manusiawi oleh orang-orang itu menjadi ilustrasi khotbah, ketika saya diminta untuk berkhotbah pada hari Minggu, 6 April 2025. Pada hari itu injil tentang perempuan yang kedapatan berzinah. Perempuan malang itu dibawa menghadap Yesus di Bait Allah. Di depan khalayak, mereka hendak mempermalukan wanita itu dengan berkata kepada Yesus bahwa menurut hukumTaurat perempuan itu harus dirajam. Bagaimana pendapat Yesus?

Yesus malah membungkuk dan menulis di tanah. Orang-orang farisi dan ahli-ahli taurat terus mendesak-Nya. Yesus berdiri dan mengatakan kepada mereka:" Siapa yang tidak ada dosa, hendaklah dia melempari perempuan itu terlebih dahulu."

Lalu Dia menulis lagi di tanah dan begitu berdiri, Ia bertanya kepada wanita itu, apakah mereka tidak menghukum engkau? "Tidak," jawab perempuan itu. "Aku pun tidak menghukum engkau, pergilah dan mulai sekarang jangan berbuat dosa lagi".

 Yesus mengoreksi tindakan kaum farisi. Bahwa mengampuni, adalah jalan pembebasan baik bagi mereka maupun bagi perempuan itu. Kaum farisi pun sadar bahwa mereka adalah manusia yang terbuat dari tanah, karena itu mereka juga punya dosa, bahkan mungkin lebih banyak dan besar dosa-dosa mereka daripada dosa perempuan yang berdiri gemetar ketakutan .

Penutup

Kabarnya polisi sedang menangani kasus ini. Apapun endingnya, kisah tragis ini meninggalkan trauma mendalam bagi Harun.

Namun kasus ini tentu meninggalkan pesan-pesan tertentu kepada kita semua lebih-lebih kepada pemerintah. Bupati sudah tahu kasus ini. Bahkan bupati berkomentar bahwa kasus ini terjadi karena lemahnya ketahanan ekonomi keluarga. Bagaimana agar bupati dapat mencetuskan program-program populis untuk memperkuat ekonomi keluarga? Maka bupati dituntut memiliki kepekaan populis. Sedangkan bagi kita semua, kita tidak setuju perbuatan Harun. Namun demikian, Harun dan keluarganya tentu memiliki pengalaman traumatik tentang kejadian ini. 

Kita berharap hadirnya Harun di tangan Direktris LSM Permata, semoga mendapat therapy psikologi yang mumpuni sehingga dia mampu menemukan kembali dirinya sebagai manusia yang bermartabat mulia.

 Kita tentu tidak mendukung tindakan dehumanisasi orang-orang itu. Penanganan melalui proses penegakan hukum semoga menjadi pelajaran yang bermakna bagi kita semua bahwa anak adalah masa depan bangsa dan negara.

Kita memiliki kewajiban moral untuk memanusiakan mereka untuk menjadi manusia muda yang dengan optimis menatap masa depan mereka.**

Iklan

Iklan